OnlineNEWS - Secara bahasa kata Islam berasal dari bahasa Arab, dari akar kata s-l-m (س ل م). Kata kerja bentuk pertamanya ialah salima (سلم), artinya “merasa aman”, “utuh” dan “integral”. Kata kerja bentuk pertama ini tidak digunakan dalam al-Qur`an, tetapi ungkapan-ungkapan bahasa tertentu dari akar kata itu seringkali digunakan. Di antaranya ialah kata silmun (سِلْمٌ) dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang berarti “damai”; salam (سَلاَم) dalam surat az-Zumar ayat 29, dengan arti “utuh” sebagai lawan dari “pemilahan-pemilahan dalam bagian-bagian yang bertentangan”, juga dalam surat an-Nisa` ayat 91 yang juga digunakan dalam pengertian “damai”. Dengan demikian kata tersebut dalam al-Qur`an seringkali digunakan dengan makna “damai”, “aman” atau “ucapan salam” (Fazlur Rahman, 1993: hal. 95).
Kata kerja bentuk keempatnya ialah aslama (أَسْلَمَ), artinya “ia menyerahkan dirinya” atau “memberikan dirinya”. Sering digunakan dalam ungkapan aslama wajhahu (“ia menyerahkan pribadi atau dirinya”) yang diikuti dengan lillah (“kepada Tuhan”). Ada pendapat lain yang menambahkannya dengan arti “memelihara dalam keadaan selamat sentosa, tunduk patuh dan taat”(Nasruddin Razak, 1977: hal. 56) . Kata `islam merupakan verbal noun (mashdar; kata benda verbal) dari bentuk keempat ini, yang berarti “penyerahan yang sesungguhnya” atau “keberserahan diri yang amat sangat”, “ketundukan dan ketaatan”. Muncul dalam al-Qur`an sebanyak enam kali (Fazlur Rahman, 1993: hal. 96).
Dengan pengertian kebahasaan tersebut, kata Islam dekat dengan arti kata agama (ad-Din) yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan (Harun Nasution, 1979: hal. 9). Senada dengan itu Nurcholis Madjid menegaskan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat Islam. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam asli (fitrah) manusia. Dengan kata lain ia diajarkan sebagai pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam (internal), tidak tumbuh apalagi dipaksakan dari luar, karena cara yang demikian menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan (Nurcholis Madjid, 1992: hal. 426).
Subjek (fa`il; partisipan aktif) dari aslama ialah muslim (مُسْلِم). Baik dalam bentuk tunggal, dua atau jamak kata muslim sering muncul dengan pengertian “seseorang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan”. Dalam surat Alu Imran ayat 83, alam semesta dikatakan sebagai muslim sebab ia mematuhi hukum-hukum Tuhan (Abuddin Nata, 1999: hal. 62).
Menurut Fazlur Rahman, kata `islam dan muslim selalu digunakan oleh al Qur`an kadang dalam makna harfiahnya, yakni “menyerah” atau “orang yang menyerahkan dirinya kepada (hukum) Tuhan, kadang juga dalam makna sebagai namadiri untuk pesan keagamaan yang dikumandangkan oleh al-Qur`an dan bagi komunitas yang menerimanya. Bahkan dalam surat al-Hajj/22:78, pesan keagamaan ini dinisbatkan kepada Ibrahim, yang dikatakan telah memberikan nama Muslim kepada komunitas yang menerima pesan al-Qur`an ini. Maka nyatalah bahwa Islam di masa Madinah, selain bermakna harfiah, telah direifikasi menjadi nama agama yang dibawa oleh Muhammad Shalallahu `Alaihi Wasallam. Dan muslimun menjadi komunitas formal yang memeluk Islam (lihat QS. 5:111). Selanjutnya Rahman menjelaskan, bahwa ada dua hal penting untuk disimak sehubungan dengan istilah islam.
Pertama, bahwa islam integral dengan iman. “Penyerahan” kepada Tuhan, dalam karakteristiknya yang hakiki, adalah mustahil tanpa iman. Bahkan kedua kata ini pada dasarnya adalah sama dan telah digunakan secara ekuivalen dalam banyak bagian al-Qur`an (Lihat QS. 3:52, 10:84, 5:111, 43:69, 28:52-53).
Kedua, islam merupakan pengejahwantahan lahiriah, konkret dan terorganisasi dari iman, melalui suatu komunitas normatif. Karena itu, anggota-anggota komunitas ini harus didasarkan pada iman dan cahayanya, dan sebaliknya cahaya iman semacam itu harus menjelma keluar sendiri melalui komunitas ini. Seseorang mungkin saja mempunyai iman, tetapi iman tersebut bukanlah iman sejati dan sepenuhnya kecuali jika ia diekspresikan secara islami dan dijelmakan melalui suatu komunitas yang semestinya, suatu komuitas yang muslim (berserah diri) dan Muslim (Fazlur Rahman, 1993: hal. 96-102).
Secara istilah ada beberapa ulama dan pemikir Islam yang memberikan pengertian Islam secara terminologis, di antaranya ialah Syaikh Mahmud Syaltut. Ia memberikan pengertian Islam sebagai agama yang disyariatkan oleh Allah melalui nabi-Nya Muhammad Shalallahu `Alaihi Wasallam. untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia (Syeikh Mahmud Syaltut, 1967: hal. 15).
Harun Nasution memberikan pengertian Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui nabi Muhammad Shalallahu `Alaihi Wasallam sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tatapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia (Harun Nasution, Op.Cit., hal. 24).
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, di mana dua ajaran pokoknya yaitu keesaan Tuhan dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja sebagai agama seluruh Nabi Allah, melainkan pula sebagai hakikat ketundukan dan keberserahan diri alam semesta kepada hukum Tuhan (Ali, op.cit., lihat hal. 2-7. 14).
Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam putusannya memberikan pengertianagama Islam sebagai apa yang telah disyariatkan Allah dengan perantaraan para RasulNya berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat mereka. Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Shalallahu `Alaihi Wasallam adalah apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam al-Qur`an dan termuat dalam sunnah shahihah berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat mereka (Seperti yang dikutip oleh Abdullah Ali dkk, 1994, Studi Islam I, Surakarta: PSIK-UMS, hal.39 dari Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: PP. Muhammadiyah).
Agama Islam bersumber dari wahyu yang datang dari Allah Subhanahu Wata`ala. Bukan dari manusia, bukan pula Muhammad. Posisi Nabi Shalallahu `Alaihi Wasallam dalam agama Islam diakui sebagai manusia yang ditugasi untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada ummat manusia. Dalam proses penyebarannya peranan Nabi terbatas hanya memberi keterangan, penjelasan, uraian dan contoh prakteknya. Tidak lebih.
Islam bersifat universal, rahmatan lil alamin, untuk siapa saja, tidak terbatas komunitas atau bangsa tertentu seperti agama-agama sebelum Islam, muthabiqun likulli zaman wa makan, menembus batas ruang dan waktu, sesuai untuk manusia kapan dan di mana saja (Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 64-65. Nasruddin Razak, Op.Cit., hal. 55. Huston Smith, 1985: hal. 254).
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa: Islam, dilihat dari misi ajarannya berarti semua agama Allah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada para Rasul (utusan) Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad (QS. asy-Syuura (42):13, al-Baqarah (2):136 dan ayat-ayat lainnya yang senada).
Namun demikian perlu ditegaskan, bahwa sungguhpun para Nabi tersebut telah menyatakan diri sebagai muslim dan mengajarkan misi keislaman (keberserahan diri secara total kepada Allah), akan tetapi agama yang mereka bawa itu secara resmi tidak disebut agama Islam. Agama yang dibawa Nabi Isa umpamanya, tidak disebut Islam tetapi Nasrani, yaitu nama yang dinisbahkan kepada tempat kelahiran Nabi Isa, Nazaret. Secara istilah, yang resmi disebut sebagai agama Islam ialah agama yang diwahyukan (berupa al-Qur`an) oleh Allah Subhanahu Wata`ala kepada Nabi Muhammad Shalallahu `Alaihi Wasallam, khotimul anbiya` (penutup para Nabi) untuk disampaikan dan diajarkan kepada seluruh manusia sebagai penyempurna misi keislaman yang diajarkan oleh Nabi-Nabi sebelumnya.
Meskipun pada periode Makkah ayat-ayat al-Qur`an telah menyebut Islam baik sebagai “menyerah kepada Tuhan” maupun sebagai agama konkret, namun penyebutan Islam secara tegas formal sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad ini baru terjadi pada periode Madinah, atau setelah umat Islam menjadi sebuah komunitas Muslim di Madinah. Hal ini untuk membedakan umat Islam dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyimpang dari ke”islam”an mereka (QS. Alu-Imron (3): 19, QS. at-Taubah (9):32-33, QS. 6:160-164, 30:30-32, dan 98:4-5 dan lihat juga Fazlur Rahman, Op.Cit., hal. 99-100.).
(Oleh: Syarif Husen)
Allah SWT berfirman yang artinya :
"Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."(Q.S Al Anbiyaa : 107)
"Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepda (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (Syurga) dan limpahan karunia-Nya. Dan sesungguhnya mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya." (Q.S An Nisaa : 175)
Dari kedua ayat Alquran tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT menurunkan Islam sebagai rahmat kepada alam semesta, khususnya umat manusia. Islam sebagai rahmat (karunia Allah yang mendatangkan manfaat) bagi umat manusia karena tujuan Islam adalah agar umat manusia memperoleh Ridho Allah, bahagia dunia - akhirat.
Tujuan Islam tersebut akan tercapai bila semasa hidupnya, manusia beriman kepada Allah Subhanahu Wata`ala dan berpegang kepada agama-Nya (Islam).
Manusia yang berpegang teguh kepada Islam, tentu akan senantiasa bertauhid (Lihat Q.S Al Ikhlash : 1-4; Al Anbiyaa : 25; dan Al Baqarah : 255).
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar